Rabu, 18 Agustus 2010

REFLEKSI TATA KRAMA

Namanya Anas. Malam itu anak muda dari Jordan ini terselip di antara jamaah shalat isya’ di masjid kami. Kebetulan saat itu saya menjadi imam, usai salam setiap jamaah pun terpekur pada kesibukannya, melayangkan puji dan doa untuk meminta. Satu per satu jamaah akhirnya menyepi hingga hitungan jari. Tiba-tiba anak muda sekitar dua puluh tiga tahun itu maju mendekat. “Perkenalkan nama saya Anas. I am from Jordan!” Bahasa Indonesianya sudah cukup baik meskipun sempat berpikir untuk suatu kata. Memang beberapa bulan anak muda ini sengaja tinggal di Yogyakarta untuk belajar Bahasa Indonesia. Saya agak lupa untuk tujuan apa. Mungkin untuk bekal bekerja di Indonesia atau sedang menjadi mahasiswa.

Lalu apa maksud Anas ini mengajak berbincang dengan saya? “Boleh berdiskusi sebentar?” tanya dia. “Tentu saja,” jawab saya. Dia meminta maaf merasa mendengar bacaan sholat saya ada yang kurang tepat. “Anda tadi membaca Ihdinashshiraathal mustaqiim, tapi terdengar Ihdinasysyiraathal mustaqiim. Huruf shad berbeda dengan syin”.
Saya berusaha mengingat, perasaan sudah benar. Hmm.. tapi bisa jadi terdengarnya seperti itu. Anas melanjutkan kembali. “Memang bagi orang Indonesia huruf shad dan syin terasa sulit dibaca. Ini sama seperti saya belajar Bahasa Indonesia. Kata sambal misalnya. Susah sekali. Tapi ini Al Quran kita harus benar membacanya,” ujarnya.
Pemuda ini tampak serius tapi tetap menjaga kesantunannya. Bahasa tubuhnya berusaha meyakinkankan bahwa masukannya perlu didengar, meskipun sederhana. Kami pun saling berterima kasih sambil meneruskan berbincang lain hal hingga saya dan seorang teman mengantarkan dia sampai ke sepedanya.

Kejadian ini sudah cukup lama, mungkin sekitar tujuh tahun lalu saat saya masih menikmati kebersamaan di Kota Yogyakarta. Lintasan wajahnya nampak timbul tenggelam tapi jelas tipikal wajah Timur Tengah. Saat menulis ulang kenangan tersebut saya merasa kembali membutuhkan dirinya, yang peduli bagaimana sebuah aturan ditegakkan, yang berani menyampaikan kebenaran, yang mampu mengeksekusi antara process dan result bisa terjembatani. Saya sadar belum cukup mampu sesabar dan sesantun itu. Ah, saya jadi malu untuk mengangkat tulisan ini. Tapi semoga tetap bermanfaat minimal dalam konteks refleksi.

Pasti banyak cerita yang menginspirasi kita tentang tata krama, sebagaimana dalam mayoritas video klip tourism Indonesia yang beredar banyak di internet. Ya, Indonesia sejati-nya adalah negara bertata krama. Saat masih kecil saya beberapa kali diingatkan oleh orang tua, “Bu, ada orang di depan!” Ibu saya langsung menasehati, bukan orang nak, tapi tamu! Saat kami pindah ke Jawa Barat, saya menemukan satu budaya yang bagus. Di sini rata-rata masyarakat cukup ramah menunjukkan arah jalan jika kita bertanya. Semoga Anda tidak mengalami sebaliknya.

Saya ingin kembali sedikit bercerita tentang kesantunan dan kesederhanaan. Kali ini dalam diri Prof. Husain Haikal. Saya kira guyon beliau menjanjikan bertemu di Gedung Pascasarjana UNY (Universitas negeri Yogyakarta) pukul 6.00 WIB. Pagi itu benar saya datangi tak selang lama beliau tiba dengan motor pitungnya. Beliau langsung menyalami saya. “Saya harus menjadi teladan buat mahasiswa saya,” ujarnya setiap kali saya sowan ke rumahnya. Suaranya masih terus meledak-ledak, tentang keprihatinannya pada dunia pendidikan kita. Hingga alinea ini kita belajar bahwa tata krama bukan sekedar panduan etika dan etiket tapi juga keteladanan.

Beberapa kali saya ditanya tentang materi komunikasi efektif. Terlalu banyak teori yang menjawabnya. Daripada rumit saya bagi dalam dua syarat. Adanya Openness dan Happiness. Dengan openness (keterbukaan) akan terhasilkan trust (kepercayaan). Dengan happiness (kebahagiaan) akan menimbulkan comfortness (kenyamanan). Pertanyaannya, kadang keduanya tidak saling hadir dalam tempo dan notasi yang sama. Mungkin disinilah pentingnya cinta. Saat ketidakseimbangan prasyarat komunikasi terjadi, kita selalu memasang radar prasangka positif karenanya terlahir sikap yang baik.

Dalam menggeliatkan gerakan berbagi dalam zakat dan filantropi, tata krama tidak kalah penting dari isi ajakannya. Saat mata kuliah semester I dulu di jurusan ilmu komunikasi, begitu sering diulang pernyataan Mc Luhan, “Medium is a message!” Banyak es jus buatan rumahan lebih enak daripada pabrikan. Tapi kekuatan kemasan dan iklan begitu menggoda untuk menambahkannya dalam struk kita. Sama halnya begitu sering kita menerima pesan kebaikan tapi segera berlalu karena ditampilkan dalam roman yang kurang welcome. Maka Rumah Zakat melalui rebrandingnya juga tertantang untuk berusaha menampilkan dua sisi yang secara paralel diungkapkan; tentang pentingnya berempati dan cara membuktikan bahwa empati tersebut dikelola dalam bukti pengorganisasian yang meyakinkan.

Jika Anas bisa, semoga kita juga bisa! Tetapi ternyata ada satu nama yang harus terlebih dahulu memperbaikinya. Orang itu adalah: saya!

Sumber : Rumah Zakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar